http://ppsyamsulhuda.blogspot.com/2012/01/biografi-dan-karya-kh-badawi-hanafi.html
KH. Badawi Khanafi
1) Kelahiran
Beliau
KH. Badawi Hanafi lahir di kampung Brengkelan, kecamatan Purworejo,
Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah sekitar tahun 1885 M.
2) Nasab
Nasab
beliau adalah KH. Badawi Hanafi bin KH. Fadlil bin H. Asyari (Sengari)
bin Soyudo bin Gagak Handoko bin Mbah Bedug (Keturunan Mataram/Yogya).
Ayah beliau, KH. Fadlil adalah seorang pedagang pakaian, dilahirkan di kota Purworejo, Jawa Tengah + Tahun 1847. Beliau berbadan tinggi besar, berkumis, berjenggot panjang, dan bersimbar (dada berambut).
Mbah
KH. Fadlil dikenal sebagai sosok yang rapi, sangat khusyu' dalam
beribadah, suka berdzikir. Walaupun waktu berjualan dipasar, beliau
tidak pernah lepas dari tasbihnya.
Beliau juga dikenal sebagai
sosok yang ramah kepada siapapun, tawadu` dan juga suka menolong kepada
fakir miskin, dan suka memberikan pinjaman kepada pedagang-pedagang
kecil dengan tidak minta keuntungan sedikitpun dari pinjaman yang
diberikan. Tidak suka menagih pinjaman walaupun beliau memerlukannya
Pekerjaan
sehari-hari beliau adalah berdagang kain. Beliau suka berdakwah
Islamiyyah, sehingga sambil berjualan, beliau melaksanakan dakwah.
Mbah
KH. Fadlil berasal dari Purworejo, kemudian hijrah ke Kesugihan pada
tahun 1910 dan bertempat tinggal di sebuah dusun di desa kesugihan yang
benama Salakan, tepatnya di sebelah utara lapangan sepak bola Kesugihan
sekarang. Pada tahun 1914 beliau pindah kedusun Platar, sebelah selatan
stasiun Kereta Api jurusan Cilacap (atau sebelah utara komplek Raudhotul
Qur`an (RQ) putra PPAI sekarang)
Pada tahun 1923, hari Selasa
Manis, tanggal 28 Ramadlan terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat,
banyak pohon besar yang tumbang, rumah banyak yang roboh, termasuk
stasiun kereta api Maos. Atas pertolongan Allah SWT, langgar duwur yang
didirikan oleh KH. Fadlil tetap tegak termasuk gentingnya tidak ada
yang patah atau jatuh,
pada waktu itu langgar duwur sedang
ditempati untuk pengajian oleh Kyai Muda Badawi, putra laki-laki kedua
dari mbah KH. Fadlil.
Adipati Cilacap pada waktu itu R.
Cakra Wardaya menyempatkan untuk meninjau tempat-tempat yang terkena
musibah gempa bumi tersebut, terharu melihat langgar duwur itu tidak
roboh, sedangkan bangunan yang dianggap lebih kuat porak-poranda akibat
terjadinya gempa tersebut. Ditengah-tengah haru dan keheranan tersebut,
Bapak Adipati pada waktu itu mengatakan "Besok ditempat ini akan berdiri
Masjid Besar". Dari sinilah mulai terkenal langgar duwur.
Alhamdulillah
Allah SWT mengabulkannya, Mbah KH. Badafi Hanafi beserta kerabat,
santri dan masyarakat pada hari senin wage tahun 1936 dapat mendirikan
Masjid di pondok.
Pada tahun 1927 bulan rojab hari Senin wage jam
14.00 Mbah Nyai H. Fadlil (Shofiyah binti KH. Abdul Syukur) wafat, dan
pada tahun 1937 pada bulan rajab juga, tepatnya hari senin wage jam
06.00 pagi beliau mbah KH. Fadlil dipanggil menghadap Allah SWT.
3) Pendidikan
Beliau menuntut ilmu di beberapa Pondok Pesantren, yaitu :
1. Pondok Pesantren Wono Tulus , Purworejo (Tahun 1891-1894 M)
KH.
Badawi Hanafi, waktu kecil, ketika umurnya 7 tahun, tepatnya pada tahun
1891 dititipkan pada KH. Fadlil Pengasuh Pondok Pesantren Wono Tulus,
tempatnya di desa Wono Tulus, Purworejo, jaraknya sekitar 4 km dari
rumah beliau untuk diajari membaca al-Qur'an yang baik dan disekolahkan
disekolah
ongko loro [1]. Pondok ini, disamping
mengajarkan al-Qur'an, juga mengajarkan beberapa disiplin ilmu
agama lain, seperti ilmu ushuluddin (Tauhid), fiqih dll. Pada waktu itu,
pondok pesantren tersebut diasuh oleh KH. Fadlil, menantu dari KH.
Ahmad Nur, putra KH. Imam Puro (Imam Maghfuro), orang pertama yang
dakwah Islam didaerah Purworejo. KH. Imam Puro masih keturunan Ki Ageng
Pemanahan, Mataram. Menurut cerita, KH. Fadlil ini adalah santri
kinasih KH. Imam Puro.
Sebagai seorang ulama yang sangat sabar dan
telaten mengajari murid-muridnya, KH. Imam Puro selalu mengawasi
perkembangan santri-santrinya dalam mengaji. Pada suatu malam, ketika
KH. Imam Puro sedang keliling mengawasi santri-santrinya yang sedang
tidur, beliau melihat ada sinar terang yang keluar dari pusar salah
seorang santrinya. Kemudian beliau menyobek sarung santri tersebut. Pada
siang harinya, Beliau mengumpulkan santri-santrinya dan bertanya ;
Siapa yang sarungnya sobek tadi malam ? Fadlil mengacungkan jarinya.
Kemudian oleh Beliau, Fadlil dijodohkan dengan cucunya, yaitu putri dari
KH. Ahmad Nur. Dari pernikahan tersebut KH. Fadlil dikaruniai 9 orang
putra, yaitu : KH. M. Thohir (Wono Tulus), KH. M. Sholeh (Klamudan,
Karang Rejo, Loano, Purworejo ayah Ny. Khotijah Nadzir, Kebarongan),
Nyai Maryam/Nyai Mu'ti (Kedungdowo, Trirejo, Loano), KH. Bakri (Ds.
Karangrejo, Kutoarjo, Purworejo). KH. Muhsin (Winong, Kemiri,
Purworejo), KH. Ali (Kali geseng, Kemiri, Purworejo), KH. Abu Yahya
(meninggal di Makkah), KH. Mahmud (Wono Tulus), KH. Ahmadi (Gintungan,
Gebang, Purworejo) .
Setelah menikah, KH. Fadlil diminta oleh
masyarakat untuk berdakwah di desa wono Tulus. Beliau kemudian
membangun sebuah masjid pada tahun 1870, kemudian karena banyaknya
santri yang berdatangan dari berbagai pelosok daerah ingin mengaji pada
beliau, akhirnya dibangunlah Pondok Pesanren Wono Tulus pada tahun itu.
Sepeninggal
KH. Fadlil pada tahun 1920, Pondok Wono Tulus diasuh oleh putra
pertama beliau, yaitu KH. M. Thohir (alias Bahrun, meninggal tahun
1955), kemudian dilanjutkan oleh putra KH. M. Thohir, yaitu KH. Nur
Abbas (meninggal tahun 1998), dan sekarang diasuh oleh putra KH. Nur
Abbas, yaitu K. Toha.
Namun Pondok Pesantren Wono Tulus tersebut,
sekarang sudah tidak ada, yang ada tinggal Masjid. Tepatnya tahun 1942,
waktu itu masih diasuh oleh KH. Thohir, ketika jepang datang menjajah,
santri-santri yang mengaji di Pondok ini bubar. Ini tidak lain karena
kekejaman penjajah jepang.
Waktu itu, KH. Badawi Hanafi termasuk
santri kalong
[2]. Sehingga, agar dapat mengaji, beliau yang waktu itu umurnya masih
tujuh (7) tahun, rela berjalan kaki, pulang–pergi dari rumahnya ke
Pondok setiap hari, yang jaraknya sekitar 4 km. Disamping itu, untuk
sampai ke Pondok juga tidak mudah, karena untuk sampai ke Pondok
tersebut, beliau harus menyeberangi sungai Bogowonto yang tak
berjembatan. Namun karena tekad dan semangat yang kuat, beliau tetap
aktif berangkat. Pernah pada suatu hari, ketika hari hujan, Sungai
Bogowonto tersebut banjir, dengan tekat yang besar beliau tetap
menyeberanginya meskipun beliau tidak bisa berenang agar tetap dapat
mengaji.
Setelah beberapa lama beliau mengaji di Wono Tulus,
kurang lebih selama tiga tahun, tepatnya pada tahun 1893, beliau
akhirnya dapat menyelesaikan pengajian al-Qur'an-nya dan lulus sekolah
ongko loro,
yakni ketika beliau berumur 9 tahun. Selesai mengaji al-Qur'an, beliau
kemudian mengaji dirumah beliau kepada Sang Ayah sampai berusia 11
tahun.
2. Pondok Pesantren Loning, Purworejo (Tahun 1895-1901 M)
Setelah
KH. Fadlil dan istrinya, Ny. H. Shofiyyah merasa anaknya sudah cukup
besar, beliau bertekad bulat mendidik putranya untuk memberikan
ilmu-ilmu agama dengan menitipkannya di Pondok Pesantren.
Melihat
semangat anaknya (KH. Badawi Hanafi) yang luar biasa dalam mengaji,
pada tahun 1895, ketika beliau berumur 11 tahun, yaitu dua tahun setelah
beliau menyelesaikan pengajian al-Qur'an di Pondok Pesantren WonoTulus,
beliau dipondokkan di Pondok Pesantren Loning, yang waktu itu diasuh
oleh KH. Abdulloh Mukri dengan dibantu adik-adiknya, yaitu K . Syamhudi,
K. Sahlan, dan K. Abdullah Mahlan, cucu-cucu Imam Rofi'i.
Pondok
Pesantren ini didirikan didesa Loning, Purworejo (jauhnya 10 km dari
rumah KH. Badawi hanafi) sekitar tahun 1800, oleh Raden Muhammad H.
Rofi'i (paman Pangeran Diponegoro , guru Imam Puro yang dikenal dengan
sebutan tuan guru Imam Rofi'i) bin Pangeran Hangabehi bin Sunan
Amangkurat IV bin Sunan Pakubuwono I bin Sunan Amangkurat I bin Sultan
Agung Hanyokrokusumo bin Sinuhun Sedo Krapyak bin Panembahan Senopati
bin Ki Ageng Pemanahan. Sebelum berdakwah di Loning, Tuan Guru mengaji
di Makkah, sekitar 25 tahun. Tuan Guru terkenal orang yang sangat
mumpuni tentang bacaan Al-Qur'an. Imam Puro sendiri mengaji al-Qu'an
kepada beliau.
Adapun ayah beliau, Pangeran Hangabehi, yang
dikenal dengan KH. Ageng Mlangi/Mbah Sandiyo/Mbah Nurul Iman adalah
orang yang pertama yang dakwah Islam di daerah Mlangi (sekarang makamnya
ada disana)
Pondok Pesantren Loning ini pertama diasuh oleh Tuan
Guru Imam Rofi'i, kemudian dilanjutkan oleh menantunya (K. Sangid) dan
putra-putra beliau (setelah mereka besar), yaitu K. Mahmud, K. Soleh,
dan K. Bustomi. Pada periode berikutnya, yaitu sekitar tahun seribu
sembilan ratusan dteruskan oleh cucu-cucu Tuan Guru yaitu : K. Abdullah
Mukri, K. Samhudi, K. Sahlan, dan K. Abdullah Mahlan. Pada periode K.
Abdullah Mukri inilah, KH. Badawi Hanafi mondok disini.
Alumni-alumni
Pondok Loning adalah pendiri-pendiri pondok di daerah jogja, semarang,
magelang dan sekitarnya antara lain Syeh Sholeh Darat Semarang.
Bangunan
Pondok Loning yang dulu, sekarang sudah tiada. Yang ada sekarang adalah
masjidnya yang diasuh oleh putra K. Samhudi, yaitu KH. Nasrudin serta
Pondok Pesantren Loning baru dan Madrasah Diniyyah yang didirikan oleh
KH. Nasrudin pada tahun 1965.
Di Pondok ini, KH. Badawi Hanafi
sudah bukan lagi santri kalong. Beliau tidak lagi pulang pergi tiap hari
untuk mengaji, tapi disini beliau telah menetap di dalam salah satu
kamar Pondok Pesantren. Beliau sangat jarang pulang kerumah, kecuali
kalau ada keperluan yang sangat penting, itupun dengan jalan kaki.
Beliau adalah orang yang sederhana, tidak suka bermewah-mewah.
Pada
waktu disini, beliau masih diberi bekal oleh orang tuanya. Beliau
tidak menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin tiada duanya tersebut.
Beliau manfaatkan sebaik-baiknya dengan tekun mengaji. Karena tidak
sembarang orang yang mau membiayai anaknya untuk keperluan mengaji. Ada
orang yang punya harta banyak ingin membiayai anaknya mengaji, tapi
anaknya tidak mau. Ada lagi yang anaknya punya kemauan kuat untuk
mengaji, tapi orang tuanya tidak mampu atau tidak mendukungnya. Jadi
beliau tidak mau menjadi orang yang merugi, dengan mengabaikan
kesempatan yang ada.
Selama enam (6) tahun lamanya, beliau mengaji
berbagai disiplin ilmu agama disini, antara lain : bacaan Al-Qur'an,
ilmu ushuluddin (ilmu tauhid), ilmu-ilmu alat, ilmu fiqih dll.
3. Pondok Pesantren Bendo, Kediri (Tahun 1901- 1921 M)
Begitu
cintanya beliau pada ilmu agama, setelah beliau mengaji dengan tekun
berbagai ilmu agama di Pondok Loning, beliau tidak lekas merasa cukup
dengan ilmu yang telah ia kaji. Beliau selalu merasa kurang dalam
menuntut ilmu. Beliau punya keyakinan bahwa ilmu Allah itu tidak akan
ada habis-habisnya. Kesemangatan dan tekad beliau yang kuat inilah yang
menjadi penyebab Allah menganugerahinya sebagai
sosok yang `alim.
Hal
tersebut terbukti manakala usia beliau menginjak umur 17 tahun,
tepatnya tahun 1901, dari Pesantren Loning, beliau melanjutkan mengaji
di Pondok Bendo, Kediri, Jawa Timur.
Pada waktu beliau mengaji, Pondok Pesantren ini diasuh oleh Syekh Khozin, adik Syekh Dahlan Jampes.
Syekh
Khozin adalah seorang ulama yang ahli dalam berbagai ilmu agama. Beliau
termasuk seorang tokoh sufi pada waktu itu. [3] Sehingga KH. Badawi
Hanafi banyak belajar ilmu tasawuf pada beliau.
Sebagaimana di Loning, beliau disini juga menetap, bukan sebagai
santri kalong.
Dalam usia tersebut, beliau sudah sangat dewasa, beliau tidak hanya
memikirkan dirinya sendiri, tapi beliau ikut merasakan betapa susah
kedua orang tuanya mencarikan uang untuk mencukupi kebutuhannya dalam
mengaji di Pondok Loning. Oleh karena itulah, selama 20 tahun beliau
mengaji dipondok ini, beliau tidak pernah meminta bekal pada kedua orang
tuanya. Hal itu karena beliau tidak ingin membebani mereka. Dan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya selama mengaji, beliau bekerja sebagai
tukang memperbaiki jam, menjahit dan
ngedok [4] , sebagai
sambian
(pekerjaan sampingan). Hasil dari pekerjaan tersebut tidak hanya untuk
mencukupi kebutuhan pribadinya selama mengaji, tapi juga disisakan
untuk ditabung dan dikirimkan kerumah untuk membantu orang tua.
Pada
waktu mengaji di Pondok Bendo ini, beliau termasuk santri senior
kesayangan Syekh Khozin. Beliau sering ditunjuk oleh syekh Khozin untuk
mengimami shalat, ketika sedang berhalangan. Pernah seorang santri baru
(K. Syujangi Purbalingga) mengamati beliau, ia kagum terhadap seorang
santri yang ditunjuk Syekh Khozin untuk mengimami, dalam hati ia
bertanya ; Apakah orang yang mengimami tadi adalah orang yang tadi siang
menjadi tukang batu ? Selidik punya selidik ternyata dugaannya tidak
meleset[5]. Memang disamping pandai mengaji, beliau memiliki banyak
ketrampilan, salah satunya adalah sebagai tukang batu. Ketrampilan
tersebut beliau manfaatkan untuk membangun Pondok Bendo.
Walaupun beliau menetap di Pondok Bendo, tetapi beliau juga mengaji
jolok
(mengaji dan menempat disuatu pondok sambil mengaji di pondok yang
lain) di Pondok Jampes, yang ditempuh beliau dengan jalan kaki, padahal
jaraknya agak jauh, sekitar 12 km. Waktu itu beliau mengaji ilmu
falak/ilmu hisab pada syekh Dahlan, sampai beliau memahami ilmu
tersebut.
Setelah KH. Badawi Hanafi belajar di Pondok Pesantren
ini selama kurang lebih 20 tahun lamanya, yaitu sampai tahun 1921, Syekh
Khozin memerintahkan beliau untuk pulang berdakwah dimasyarakat. Waktu
beliau akan pulang, Syekh Khozin mengantarkannya sampai kestasiun[6].
Hal ini tidak lain karena beliau adalah santri kesayangannya.
4. Pondok Pesantren Lirap
Setelah
didawuhi
untuk pulang, beliau tidak langsung menetap dirumah, akan tetapi beliau
mondok dulu di pesantren Lirap, Kebumen. Waktu itu Pondok Lirap diasuh
oleh Simbah KH. Ibrahim. Kurang lebih tiga tahun lamanya, beliau mondok
disini, yaitu dari tahun 1921-1924 M.
Selain untuk menuntut ilmu, disini beliau sambil
riyadloh mencari tempat yang tepat untuk digunakan berdakwah. Ada bebarapa daerah yang beliau
tirakati
untuk digunakan tempat berdakwah, mendirikan Pondok Pesantren, antara
lain : Kuripan, Cilacap kota (dekat daun lumbung), Sumur Gemuling,
Sitinggil, dan Kesugihan. Dari beberapa tempat tersebut, akhirnya beliau
mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk menempat berdakwah di Kesugihan,
tempat orang tuanya tinggal. Setelah menemukan tempat yang tepat
tersebut, akhirnya tahun 1924 beliau memutuskan untuk pulang.
4) Pendirian Pondok
Setelah
kepulangan beliau dari Pondok Lirap, sebelum bulan Ramadlan tahun 1343
H/tahun 1924 M, atas kesepakatan warga masyarakat platar dan lemah
gugur, didirikanlah Pondok Pesantren.
Namun pendirian Pondok tersebut baru disahkan pemerintah yang berpusat di Banyumas pada tanggal 24 November 1925 M /1344 H.
Pada
waktu itu, bangunan pondoknya hanya terdiri dari beberapa kamar, dengan
ruangan tengah yang cukup lebar untuk mengaji dan KH. Badawi menempati
salah satu kamar tersebut. [7]
Pada tahun 1936 beliau membangun sebuah masjid, dan langgur duwur yang tadinya digunakan untuk shalat jamaah dibongkar.
5) Pernikahan KH. Badawi Hanafi
Setahun
dari pendirian pondok, kemudian beliau berpikir untuk mendapatkan
seorang pendamping hidup. Setelah beliau meminta petunjuk pada Allah SWT
melalui shalat istikharah, akhirnya beliau diberi petunjuk oleh-Nya
untuk menikah dengan seorang wanita shalihah yang bernama Nyai 'Aisyah
Badriyah, putri seorang Kyai yang kaya raya, yaitu KH. Abdullah Mukri
dari Kebarongan.
Setelah beliau selidiki, wanita yang ditunjukkan
Allah SWT. tersebut ternyata sudah dilamar oleh seorang putra seorang
Syekh dari Makkah, bahkan hari perkawinannya sudah ditetapkan. Namun
beliau tetap berkeyakinan bahwa petunjuk Allah SWT pastilah benar, tidak
mungkin meleset.
Ternyata apa yang beliau yakini menjadi
kenyataan. Jadwal pernikahan yang sudah direncanakan dengan matang
akhirnya tidak menjadi kenyataan. Karena pada tahun itu, adiknya Nyai
'Aisyah (Gus Syahid) meninggal dunia, dan menurut adat jawa, tidak
diperbolehkan menikah pada tahun itu. Sehingga pihak keluarga sepakat
untuk menunda pernikahan sampai tahun depan. Mendengar keputusan
tersebut, calon pengantin pria yang sudah memutuskan harus menikah pada
tahun itu akhirnya mencabut lamaran dan menikah dengan wanita lain.[8]
KH.
Badawi Hanafi yang sangat yakin dengan kebenaran petunjuk Allah
tersebut, kemudian memberanikan diri untuk melamar. Apa hasilnya ?
ibarat
gayung bersambut, beliau yang waktu itu bermodalkan
keyakinan, tidak bermodalkan harta melimpah, yang kalau dalam masalah
harta bagaikan pungguk merindukan bulan, lamarannya diterima dengan suka
cita oleh wanita shalihah tercinta, Nyai 'Aisyah Badriyah dan anggota
keluarganya, Subhan-Alloh. Akhirnya pada tahun 1926 M beliau
melangsungkan pernikahan dengan Nyai 'Aisyah Badriyah.
6) Putra-Putri KH. Badawi Hanafi
Dari pernikahan beliau dengan Nyai 'Aisyah beliau dikarunia 14 putra-putri, yaitu :
a. Nyai Hj. Nasiroh, istri K. Muchson (Pengasuh PP. Al Ihya 'Ulumaddin Kesugihan)
b. Nyai Hj. Murtajiaturrohmah, istri KH. Abdul Wahhab (Pendiri dan Pengasuh PP. Manarul Huda, Kesugihan)
c. K. M. Musthofa Al-Makki
d. Nyai Ma'unah, istri KH. Abdurrahim (Pendiri dan Pengasuh PP. Al-Azhar Citangkolo, Banjar, Wawa Barat)
e. Nyai Hj. Mumbasithoh, istri KH. Abdurrahim (Pendiri dan Pengasuh PP. Al-Azhar Citangkolo, Banjar, Wawa Barat)
f. KH. Ahmad Mustholih Badawi (Pengasuh PP. Al Ihya 'Ulumaddin Kesugihan setelah KH. Muchson)
g. KH. Chasbullah Badawi (Pengasuh PP. Al Ihya 'Ulumaddin Kesugihan sekarang)
h. K. Mukhtaruddin
i. Ning Mutammimah (meninggal waktu kecil)
j. Nyai Hj. Muttasingah, istri KH. Zaini Ilyas (Pendiri dan Pengasuh PP. Miftahul Huda, Pesawahan, Rawalo)
k. Nyai Hj. Marhamah,
istri KH. Abdul Qohar (Pengasuh PP. Syamsul Huda, Kedungreja)
l. Gus Amir (meninggal waktu kecil)
m.Gus Markhum (meninggal waktu kecil)
n. Nyai Hj. Kholisoh, pernah bersuamikan : KH. Salim, K. Abd. Rozak, K. Sholeh, K. Habib, K. Satori, K. Masrur.
7) Riyadlah KH. Badawi Hanafi
Kebesaran
beliau ternyata tidak muncul dengan tiba-tiba. Ada proses panjang yang
dilalui beliau sampai namanya dikenang hingga sekarang. Bentuk-bentuk
riyadlah (melatih diri mengekang hawa nafsu menuju ridla Allah SWT)
beliau sangat bermacam-macam, antara lain :
a. Beliau selalu mujahadah setiap malam (قيام الليل)[9]
Jadi, waktu malam yang panjang tidak beliau gunakan untuk
ngobrol ngalor-ngidul (bicara kesana kemari)
yang tidak ada manfaatnya, tapi beliau gunakan untuk muthala'ah kitab dan mujahadah (shalat, dzikir dsb).
b. Rajin shalat berjama'ah, Beliau dikenal sebagai orang yang sanyat tekun dan rajin dalam menjalankan shalat jama'ah.
c. Makannya sedikit
Sebagaimana
manusia biasa, tentunya beliau juga memerlukan kekuatan agar dapat
beribadah kepada Allah SWT yang mana kekuatan tersebut dapat diperoleh
dari makanan. Namun apabila terlalu banyak, akan berakibat yang tidak
baik, karena ada beberapa bahaya yang dapat ditimbulkan dari kebanyakan
makan, antara lain banyak menimbulkan berbagai macam penyakit dan
menghilangkan kecerdasan[10]. Disamping itu, apabila perut terlalu
kenyang, syahwat akan besar sehingga mudah terbujuk oleh godaan syetan.
Padahal mencari ilmu itu tidak lain adalah untuk mendapatkan ridla dari
Allah SWT . Beliau tetap masak nasi itupun dicampuri krikil, hanya agar
tidak dianggap
priatin oleh orang lain. . [11]
d. Beliau sangat aktif mengaji dan selalu
gasang[12].
Misalnya,
sewaktu kecil, ketika beliau mengaji di Pondok Wono Tulus, terjadi
hujan deras dan sungai yang harus beliau lalui agar dapat sampai di
Pondok tersebut meluap. Akhirnya beliau nekad berenang menyeberangi
sungai tersebut agar tetap dapat mengaji.[13] Dan juga pernah suatu hari
di Pondok Bendo, sewaktu beliau mengaji kitab Ihya 'Ulumiddin, karya
Imam Ghozaly, dalam kondisi sakit yang cukup parah, beliau memaksakan
diri untuk tetap mengaji dengan minta digotong pada teman-temannya
ketempat pengajian. Melihat hal itu, KH. Khozin sangat iba, sehingga
akhirnya beliau meliburkan pengajian sampai sakitnya sembuh. Dalam
mengaji Bandungan kitab tersebut, tidak ada satupun
korasan
(lembaran-lembaran kitab) yang terlewatkan, Semua isi kitab beliau kaji
dengan tekun, tidak ada yang ketinggalan sedikitpun. [14]
Disamping beliau tekun mengaji, beliau juga sangat
ta'dzim
(menghormati) Guru. Waktu mondok di Bendo, beliau sering membantu Syekh
Khozin. Beliau adalah orang yang dipercaya untuk mencucikan baju dan
menyiapkan air untuk mandi Syekh Khozin. Beliau dengan tekun setiap
hari, mengisi
kulah-kulah (kamar Mandi) yang ada di ndalem.[15]
Ini adalah dalam rangka mencari ridlo Guru. Karena buat apa mendapat
ilmu yang banyak jikalau Gurunya tidak meridloi. Bagaimanapun juga, kita
akan sulit mengetahui kebenaran, tanpa bantuan dan bimbingan seorang
Guru, karena beliau tentunya lebih mengetahui apa yang terbaik dan akan
memberikannya untuk sang murid.
بسم الله الرحمن الرحيم
كـتاب نية اعسون عاجي
Karya : Romo KH. Badawi Khanafi
Niyat
ingsun ngaji, sing jeneng ngaji iku nular kaweruh belajar kepinteran
agama Islam sing munggueh gusti Alloh, lan utusane gusti Alloh. Yoiku
agomo kang cocok karo dawueh Qur’ane gusti Alloh, lan Hadise utusane
gusti Alloh, kang ketoto poro sohabate utusane gusti Alloh lan tabingin
tabingihim, ngulama salaf lan ahli madzhab, kang ngumpulaken limang
perkoro, ditekodaken ono ing ndalem ati, diucapaken ono ing lisan,
ditandangi nganggo badan. Rupinipun limang perkoro : sewiji moco
syahadat loro, kaping pindo sholat limang wektu ingndalem sedina
sa’wengine kelawan netepi syarat rukune, kaping telu zakat fitrah
kelawan netepi syarat rukune, kaping papat puoso wulan romadon kelawan
netepi syarat rukune, kaping lima haji maring baitulloh, kelawan netepi
syarat rukune.
Agama Islam mau penggaweane wong ngéngér maring
gusti Alloh. Kito putro wayah Adam, rumongso ngéngér, rumongso dadi
kawulo. Dengere yen kito rumongso ngéngér dadi kawulo, kerono kito
rumongso digawe lan rumongso dicukupi, yoiku didadeake ono ing wetenge
biyunge, dibabarake, diparingi rizqi powan soko biyunge, mundak-mundak
gede, manggon ono ing bumine gusti Alloh, mangan pepanganane gusti
Alloh, ngombe banyune gusti Alloh, nyandang sesandangane gusti Alloh,
ngalap padang srengenge, rembulan, lintang, lan liya-liyane, kabeh iku
kagungane gusti Alloh.
Tetep kito ngéngér, tetep kito dadi kawulo.
Patrapané wong ngéngér dadi kawulo, nyambut gawé manut tata hukumé
pangéran kang dingéngéri. Kito bakal bali ketemu pangéran kang
dingéngéri. Yén kito wis nyambut gawé bener, manut tata hukumé pangéran
kang dingéngéri, ora didukani, didawuih nganggur, manggon ono ing
panggonan kang kepénak, énak, bungah, seneng, rejo, mulyo sa’lawase,
yoiku sing jeneng suwargo.
Yén kito ora nyambut gawé bener, ora
manut tata hukumé pangeran kang dingengeri, bakal bali ketemu pangeran
kang dingengeri, didukani, didawuih manggon ono ing panggonan kang loro,
rekoso sa’lawas lawase, yoiku sing jeneng Neroko.
Ing saréhning
agama Islam mau kumpulé limang perkoro, kang dingin moco syahadat loro;
tegesé nekséni anané gusti Alloh lan utusané gusti Alloh. Yén mengkono
wau wiwit wajib ipun tiyang mukallaf puniko ma’rifat dateng gusti Alloh
lan dateng utusané gusti Alloh.
Ingkang nami ma’rifat puniko
i’tikod ingkang kukuh, ingkang cocok kawontenanipun, ingkang dipun
tékodaken, ingkang medal saking dalil pemanggiéh ponco ndriyo. Ma’rifat
mau tembung ngarob, coro jawinipun nyumerapi dateng gusti Alloh, lan
dateng utusanipun gusti Alloh, kelawan nganggo peningaling manah,
ingkang medal saking dalil pemanggiéh ponco ndriyo.
Ing saréhning
wiwit wajib ipun tiyang mukallaf puniko ma’rifat dateng gusti Alloh, lan
dateng utusanipun gusti Alloh. Yén mekaten kulo inggih nyumerapi
ingkang nami gusti Alloh puniko dzat setunggal, mesti wontenipun,
ketetepan sifat sempurno, mboten kekirangan, mboten kénging dipun
koyo-koyo, mboten rupo, mboten werno, mboten kontho, mboten arah, mboten
enggen, cekap kulo tékodaken wonten ing manah, kulo ucapaken ing lisan,
kulo panggih, kulo raos nganggo peningaling manah kémawon, kulo lampahi
ngangge badan.
Dalilipun saged kulo sumerapi, ingkang nami gusti
Alloh puniko dzat setunggal, mesti wontenipun, ketetepan sifat
sempurno, mboten kekirangan. Saking kulo pikir, kulo nalar, kulo tingali
saking badan kulo pinyambak, lan sanés-sanésipun, rupinipun : bumi,
langit lan saisinipun. Déné pemikir kulo, penalar kulo, saking badan
kulo piyambak, mekaten kulo wau–waunipun mboten wonten, sa’puniko lajeng
wonten. Mongko pundi–pundi perkawis ingkang wau–waunipun mboten wonten
lajeng wonten dipun wastani perkawis énggal. Mongko pundi-pundi perkawis
enggal mboten saged enggal piyambak, kedah wonten ingkang ngénggalaken.
Déné ingkang ngénggalaken mesti kémawon mboten sami kelayan ingkang
dipun énggalaken. Lah, inggih puniko ingkang ngénggalaken kulo ingkang
nami gusti Alloh, dzat setunggal, mesti wontenipun, ketetepan sifat
sempurna, mboten kekirangan.
Dalilipun malih saged kulo sumerapi,
ingkang nami gusti Alloh puniko dzat setunggal, mesti wontenipun,
ketetepan sifat sempurna, mboten kekirangan. Saking kulo pikir, kulo
nalar, kulo tingali saking bumi langit sa’isinipun. Déné pemikir kulo,
penalar kulo saking bumi saisinipun, mekaten bumi langit sa’isinipun
kulo pikir–pikir nami perkawis énggal. Saged kulo sumerapi bumi langit
sa’isinipun nami perkawis énggal, kerono kulo tingali ketetapan sifat
énggal. Rupinipun sifat énggal : obah, meneng, lan owah-owah. Rupinipun
owah-owah : siang, ndalu, padang, peteng, iyub, bentér, jawah, terang,
andap, inggil, lan sanés-sanésipun. Sa’puniko kaleres meneng, ndalu,
peteng, terang, katah tiyang ngaos, lan sanés-sanésnipun. Mongko
pundit-pundi perkawis ingkang ketetepan sifat énggal inggih tumut
énggal. Mongko pundi-pundi perkawis ingkang enggal mboten saget énggal
piyambak, kedah wonten ingkang ngenggalaken. Dene ingkang ngenggalaken
bumi langit sa’isinipun mesti mboten sami kelayan bumi langit
saisinipun. Lah, inggih puniko ingkang ngenggalaken bumi langit
sa’isinipun ingkang nami gusti Alloh, dzat setunggal, mesti wontenipun,
ketetepan sifat sempurna, mboten kekirangan.
Kulo nyumerapi poro
utusanipun gusti Alloh. Déné poro utusanipun gusti Alloh puniko
Menungso jaler kang merdéko, kang sempurna kedadosanipun, ingkang
mboten wonten celanipun, ingkang keparingan wahyu jali lan wahyu khofi.
Déné gusti kulo, bendoro kulo, Nabi kulo, puniko kanjeng Nabi Muhammad
SAW, kaleres putranipun Kyai ‘Abdulloh, wayahipun Kyai ‘Abdul Mutholib,
Ibunipun Dewi Aminah, tedakipun bongso Quraisy. Kanjeng Nabi Muhammad
dipun putraaken wonten Mekah, dangu-dangu ageng, sepuh , dados nabi,
dados utusan, dipun utus mucal agami Islam wonten ing negari Mekah.
Ingkang dipun wucal sedoyo jin lan menungso. Sagedipun wradin dipun
tular-tular aken. Rumiyinipun mucal santrinipun ingkang nami shohabat,
shohabat mucal santrinipun ingkang nami tabi’in, tabi’in mucal
santrinipun ingkang nami tabi’ihim, tabi’ihim mucal santrinipun ingkang
nami ‘ulama salaf, ‘ulama salaf mucal santrinipun ingkang nami ‘ulama
kholaf, sa’teras-terasipun, mucal-mucalaken henggo sa’priki, dumugi ing
ngriki panggonan, Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin Kesugihan
Cilacap / Pondok Pesantren Syamsul Huda Ciklapa Kedungreja Cilacap Jawa
Tengah / lan sanés-sanésipun. Dangu-dangu kanjeng Nabi Muhammad pindah
wonten ing negari Madinah, mucal agami Islam wonten ing Madinah.
Dangu-dangu gerah, sedo, dipun saréaken wonten negari Madinah.
Sa’sampunipun sedo mboten wonten Nabi utusan malih henggo dumugi
sa’priki ngantos dinten kiamat. Dene wontenipun Nabi ‘Isa, mbenjang
sa’caketipun dinten kiamat, namung nerasaken piwucalipun kanjeng Nabi
Muhammad. Sa’sampunipun kulo sumerapi syahadat kalih, lajeng kulo
nyumerapi ingkang nami sholat. Déné ingkang nami sholat punika
pendamelanipun tiyang ngéngér maring Gusti Alloh. Lah inggih puniko
pinten-pinten pengucap lan pinten-pinten pendamelan ingkang dipun
penganggéni syarat rukun, ingkang dipun kawiti takbirotul ihrom,
ingkang dipun pungkasi salam. Déné syarat wajib ipun sholat puniko
wonten tigo : setunggal Islam, kaping kalih baligh, kaping tigo nggadaih
ngakal.
Kulo sumerapi sifat-sifatipun gusti Alloh. Dene
sifat-sifatipun gusti Alloh puniko kepérang dados tigo : setunggal sifat
wajib, kaping kalih sifat mustahil, kaping tigo sifat jaiz. Déné sifat
wajibipun gusti Alloh puniko mboten wonten telas-telasipun, muhalipun
sa’monten ugi.
Déné ingkang dipun wajibaken nyumerapi saben-saben
tiyang mukallaf puniko namung kalih doso, muhalipun inggih kalih doso,
jaizipun setunggal.
Rupinipun sifat wajib kalih doso inggih puniko
: (1) wujud, (2) qidam, (3) baqo, (4) mukholafatu lil-hawaditsi, (5)
qiyamuhu ta’ala binafsihi, (6) wahdaniyah, (7) qudrot, (8) irodat, (9)
‘ilmu, (10) hayat, (11) sama’, (12) bashor, (13) kalam, (14) qodiron,
(15) muridan, (16) ‘aliman, (17) hayyan, (18) sami’an, (19) bashiron,
(20) mutakalliman. Muhalipun : (1) ‘adam, (2) huduts, (3) thuruwwul
‘adam, (4) mumatsalatu lil-hawaditsi, (5) al-la yakuna qoiman binafsihi,
(6) al-la yakuna wahidan, (7) ‘ajzu, (8) ‘adamul irodat, (9) jahl, (10)
maut, (11) shomam, (12) ‘ama, (13) bakam, (14) ‘ajizan, (15) ghoiro
muridin, (16) jahilan, (17) mayyitan, (18) shomman, (19) ‘amman, (20)
bakiman. Wajib wujud muhal ‘adam, wajib qidam muhal huduts, wajib baqo
muhal thuruwwul ‘adam, wajib mukholafatu lil-hawaditsi muhal mumatsalatu
lil-hawaditsi, wajib qiyamuhu binafsihi muhal al-la yakuna qoiman
binafsihi, wajib wahdaniyah muhal al-la yakuna wahidan, wajib qudrot
muhal ‘ajzu, wajib irodat muhal ‘adamul irodat, wajib ‘ilmu muhal jahlu,
wajib hayat muhal maut, wajib sama’ muhal shomam, wajib bashor muhal
‘ama, wajib kalam muhal bakam, wajib qodiron muhal ‘ajizan, wajib
muridan muhal ghoiro muridin, wajib ‘aliman muhal jahilan, wajib hayyan
muhal mayyitan, wajib sami’an muhal shomman, wajib bashiron muhal
‘amman, wajib mutakalliman muhal bakiman.
Wajib wujud muhal ‘adam,
tegesipun mesti gusti Alloh wonten, mboten pinanggih ngakal yen gusti
Alloh mboten wonten. Wajib qidam muhal huduts, tegesipun mesti gusti
Alloh dingin tanpo kawitan, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh
anyar. Wajib baqo muhal thuruwul ‘adam, tegesipun mesti gusti Alloh
langgeng tanpo pungkasan, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh
kenging rusak. Wajib mukholafatu lil-hawaditsi muhal mumatsalatu
lil-hawaditsi, tegesipun mesti gusti Alloh bénten kelayan perkawis
énggal, mboten pinanggih ngakal yén gusti Alloh sami kelayan perkawis
énggal. Wajib qiyamuhu binafsihi muhal al-la yakuna qoiman binafsihi,
tegesipun mesti gusti Alloh jumeneng piyambak, mboten pinanggih ngakal
yen gusti Alloh mboten jumeneng piyambak. Ingkang nami jumeneng piyambak
puniko mboten dipun damel dzat sanés utowo tumémpél dzat sanés. Wajib
wahdaniyah muhal al-la yakuna wahidan, tegesipun mesti gusti Alloh
setunggal, mboten pinanggih ngakal yén gusti Alloh mboten setunggal.
Ingkang nami setunggaling gusti Alloh puniko mboten wewicalan kalih
utawi tigo, utawi langkung katah, lan mboten kesusun-susun dzatipun lan
sifatipun. Wajib qudrot muhal ‘ajzu, tegesipun mesti gusti Alloh
kuoso, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh apes. Wajib irodat muhal
‘adamul irodat, tegesipun mesti gusti Alloh kerso, mboten pinanggih
ngakal yen gusti Alloh kesereng. Wajib ‘ilmu muhal jahlu, tegesipun
mesti gusti Alloh ngudaneni, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh
bodo. Wajib hayat muhal maut, tegesipun mesti gusti Alloh gesang,
mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh sedo. Wajib sama’ muhal shomam,
tegesipun mesti gusti Alloh midanget, mboten pinanggih ngakal yen
gusti Alloh tuli. Wajib bashor muhal ‘ama, tegesipun mesti gusti Alloh
ningali, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh wuto. Wajib kalam
muhal bakam, tegesipun mesti gusti Alloh ngendiko, mboten pinanggih
ngakal yen gusti Alloh bisu. Wajib qodiron muhal ‘ajizan, tegesipun
mesti gusti Alloh dzat ingkang kuoso, mboten pinanggih ngakal yen gusti
Alloh dzat inkang apes. Wajib muridan muhal ghoiro muridin, tegesipun
mesti gusti Alloh dzat ingkang kerso, mboten pinanggih ngakal yen gusti
Alloh dzat ingkang kesereng. Wajib ‘aliman muhal jahilan, tegesipun
mesti gusti Alloh dzat ingkang ngudaneni, mboten pinanggih ngakal yen
gusti Alloh dzat ingkang bodo. Wajib hayyan muhal mayyitan, tegesipun
mesti gusti Alloh dzat ingkang gesang, mboten pinanggih ngakal yen
gusti Alloh dzat ingkang sedo. Wajib sami’an muhal shomman, tegesipun
mesti gusti Alloh dzat ingkang midanget, mboten pinanggih ngakal yen
gusti Alloh dzat ingkang tuli. Wajib bashiron muhal ‘amman, tegesipun
mesti gusti Alloh dzat ingkang ningali, mboten pinanggih ngakal yen
gusti Alloh dzat ingkang wuto. Wajib mutakalliman muhal bakiman,
tegesipun mesti gusti Alloh dzat ingkang ngendiko, mboten pinanggih
ngakal yén gusti Alloh dzat ingkang bisu.
Kulo nyumerapi sifat
jaiz ipun gusti Alloh. Déné sifat jaiz ipun gusti Alloh puniko wonten
setunggal, pang ipun wonten sekawan, dados gangsal. Muhalipun jaiz
inggih gangsal. Rupinipun sifat jaiz setunggal : fi’lu wa tarku, pang
ipun ‘adam ta’tsir bil-quwwah, ‘adam ta’tsir bith-thob’i, hudutsul ‘alam
biasrihi, yaf’alul asy-yaa’a la lighordin. Muhalipun wujubul-fi’li
wat-tarki, ta’tsir bil-quwwah, ta’tsir bith-thob’i, qidamul-‘alam
biasrihi, yaf’alul ays-yaa’a lighordin. Jaiz fi’lu wa tarku muhal
wujubul fi’li wa tarki, tegesipun kenging-kenging kemawon gusti Alloh
damel ngalam utawi tinggal damel ngalam, mboten pinanggih ngakal yén
gusti Alloh wajib damel ngalam utawi wajib tinggal damel ngalam. ‘Adam
ta’tsir bil-quwwah, muhal ta’tsir bil-quwwah, tegesipun mboten wonten
setunggaling ngalam ingkang saged ngelabeti kelawan kekiyatanipun
piyambak, mboten pinanggih ngakal yén setunggaling ngalam saged
ngelabeti kelawan kekiyatanipun piyambak. ‘Adam ta’tsir bith-thob’i
muhal ta’tsir bith-thob’i, tegesipun mboten wonten setunggalipun ngalam
ingkang saged ngelabeti kelawan watekipun piyambak, mboten pinanggih
ngakal yén setunggaling ngalam saged ngelabeti kelawan watekipun
piyambak. Hudutsul-‘alam biasrihi muhal qidamul-‘alam biasrihi,
tegesipun anyar sedodyonipun ngalam, mboten pinanggih ngakal yen sedoyo
ngalam dingin tanpo kawitan. Yaf’alul asy-yaa’a la lighordin muhal
yaf-alul asy-yaa’a lighordin, tegesipun gusti Alloh damel ing
pinten-pineten perkawis mboten wonten pengarahipun, mboten pinanggih
ngakal yen gusti Alloh damel pinten-pinten perkawis wonten pengarahipun.
Kulo
nyumerapi sifat wajibipun poro Rosul. Dene sifat wajibipun poro Rosul
puniko wonten tigo, muhalipun wonten tigo. Rupinipun sifat wajib tigo
puniko : (1) shidiq, (2) amanah, (3) tabligh. Muhalipun inggih tigo,
rupinipun : (1) kidzib, (2) khiyanat, (3) kitman. Wajib shidiq muhal
kidzib, tegesipun mesti temen poro utusanipun gusti Alloh, mboten
pinanggih ngakal yén goroh poro utusanipun gusti Alloh. Wajib amanah
muhal khiyanat, tegesipun mesti pinercoyo poro utusanipun gusti Alloh,
mboten pinanggih ngakal yén cidro poro utusanipun gusti Alloh. Wajib
tabligh muhal kitman, tegesipun mesti nekaaké poro utusanipun gusti
Alloh, mboten pinanggih ngakal yén ngumpet poro utusanipun gusti Alloh.
Sifat jaizipun poro Rosul puniko wonten setunggal, muhalipun jaiz ugi
setunggal. Rupinipun jaiz setunggal puniko : wenang ketetepan sifat
a’rodlul basyariyyah, tegesipun kenging-kenging kemawon poro Rosul
ketetepan sifat bongso menungso, kadosto : dahar, ngunjuk, kromo putro,
tetindakan, tetumbasan, lujeng, gerah, sédo, lan sanés-sanés ipun.
Muhal yén poro Rosul ketetepan sifat uluhiyyah, tegesipun mboten
pinanggih ngakal yén poro Rosul keketepan sifat bongso kepengéranan,
kadosto : damel ngalam kelawan mawi kekiyatanipun piyambak utawi
ngehaki dipun sembah.
Pengucap مُحَمَّدٌ
رَسُوْلُ اللهِ puniko nglebetaken iman sekawan. Inggih meniko : (1)
ngimanaken poro Nabi, (2) ngimanaken poro Malaikat, (3) ngimanaken kitab
bongso langit, (4) ngimanaken dino akhir.
Jumlahipun
mu’taqod ingkang dipun wajib aken nyumerapi saben-saben tiyang mukallaf
puniko wonten séket utawi sewidak kalih, inggih puniko sifat wajibipun
gusti Alloh kalih doso, muhalipun inggih kalih doso, jaizipun setunggal,
muhalipun inggih setunggal, dados kalih. Kalih lan sekawan doso wonten
kawan doso kalih. Lah inggih puniko ingkang sa’jatosipun sifat wajib,
mustahil, jaizipun gusti Alloh. Sifat wajib ipun poro Rosul tigo,
muhalipun tigo, dados nenem, jaizipun setunggal, muhalipun jaiz
setunggal, dados kalih. Kalih lan nenem wonten walu. Lah inggih meniko
ingkang sa’jatosipun sifat wajib, mustahil, jaiz ipun poro Rosul. Walu
lan sekawan doso kalih wonten seket. Lah inggih meniko jumlahipun
mu’taqod ingkang dipun wajib aken nyumerapi saben-saben tiyang mukallaf
wonten séket, ingkang mlebet wonten pengucap لآ الهَ إِلاَّ الله
مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله. Sagedipun mlebet sewidak kalih kerono
ngepangaken sifat jaizipun gusti Alloh sekawan, muhalipun inggih
sekawan. Sekawan lan sekawan wonten walu. Pengucap مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ
الله
puniko nglebetaken iman sekawan. Sekawan lan walu
wonten kalih welas. Kalih welas lan séket wonten sewidak kalih. Lah
inggih puniko jumlah ipun mu’taqod ingkang dipun wajibaken nyumerapi
saben-saben tiyang mukallaf ingkang sewidak kalih, ingkang mlebet wonten
ing pengucap لآ الهَ إِلاَّ الله مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله.
Sagedipun
mlebet krono ningali pengucap لآ الهَ إِلاَّ الله, ing ngriki wonten
lafal Alloh ingkang asmanipun dzat ingkang ketetepan sifat uluhiyyah.
Sifat uluhiyyah anggadaih makna kalih: (1) istighnaul-ilaahi ‘an kulli
ma siwahu; tegesipiun semugieh Alloh, andoh saking saben-saben barang
kang sa’liyane Alloh. (2) iftiqoru kulli ma ‘adaahu ilaihi, tegesipun
karepe saben-saben barang kang sa’liyane Alloh, karep maring Alloh.
Ma
siwahu puniko nggadaih ngibarot gangsal : (1) ngibarot fa’il, (2)
ngibarot mahal, (3) ngibarot maf’ul, (4) ngibarot mukammil, (5) ngibarot
wasithoh. Ma siwahu ingkang ngibarot fa’il nglebetaken mu’taqod sifat
wajibipun gusti Alloh kelima sigar, muhalipun inggih kelima sigar.
Rupinipun sifat wajib kelima sigar inggih puniko : (1) wujud, (2) qidam,
(3) baqo, (4) mukholafatu lil-hawaditsi, (5) qiyamuhu binafsihi.
Sa’sigar inggih puniko ingkang makna : la yaftaqiru ilal-faa’ili,
tegesipun gusti Alloh mboten karep dateng ingkang ndadeaken. Muhalipun :
(1) ‘adam, (2) huduts, (3) thuruwwul ‘adam, (4) mumatsalatu
lil-hawaditsi, (5) al-la yakuna qoiman binafsihi, sa’sigar ingkang makna
yaftaqiru ilal-faa’ili. Kelima sigar lan kelima sigar dados wonten
songo. Ma siwahu ingkang ngibarot mahal nglebetaken sifat wajib ipun
gusti Alloh sa’sigar, muhalipun inggih sa’sigar. Rupinipun mu’taqod
sifat wajibipun gusti Alloh sa’sigar : qiyamuhu binafsihi, sa’sigar
ingkang makna la yaftaqiru ila mahallin, muhalipun sa’sigar ingkang
makna yaftaqiru ila mahallin. Sa’sigar lan sa’sigar dados wonten
setunggal. Setunggal lan songo dados wonten sedoso. Ma siwahu ingkang
ngibarot maf’ul nglebetaken sifat wajibipun gusti Alloh songo, muhalipun
songo. Rupinipun sifat wajibipun gusti Alloh songo inggih puniko : (1)
wahdaniyyah, (2) qudrot, (3) irodat, (4) ‘ilmu, (5) hayat, (6) qodiron,
(7) muridan, (8) ‘aliman, (9) hayyan. Muhalipun : (1) al-la yakuna
wahidan, (2) ‘ajzu, (3) ‘adamul irodat, (4) jahlu, (5) maut, (6)
‘ajizan, (7) ghoiro muridin, (8) jahilan, (9) mayyitan. Songo lan songo
dados wonten walulas, lan sedoso dados walu likur. Ma siwahu ngibarot
mukammmil nglebetaken sifat wajibipun gusti Alloh nenem, muhalipun
inggih nenem. Rupinipun sifat wajibipun gusti Alloh nenem inggih puniko :
(1) sama’, (2) bashor, (3) kalam, (4) sami’an, (5) bashiron, (6)
mutakalliman. Muhalipun : (1) shomam, (2) ‘ama, (3) bakam, (4) shomman,
(5) ‘amman, (6) bakiman. Nenem lan nenem wonten kalih welas, lan walu
likur dados wonten kawan doso. Ma siwahu ngibarot wasithoh nglebetaken
sifat jaizipun gusti Alloh setunggal, pangipun sekawan, dados gangsal,
muhalipun inggih gangsal. Rupinipun mu’taqod sifat jaiz ipun gusti Alloh
setunggal puniko fi’lu wa tarku. Pang ipun ‘adam ta’tsir bil-quwwah,
‘adam ta’tsir bith-thob’i, hudutsul-‘alam biasrihi, yaf’alul asy-ya’a la
lighordin. Muhalipun wujubul fi’li wa tarki, ta’tsir bil-quwwah,
ta’tsir bith-thob’i, qidamul-‘alam biasrihi, yaf’alul asy-ya’a
lighordin. Gangsal lan gangsal dados sedoso. Sedoso lan kawan doso dados
wonten séket. Lan inggih puniko mu’taqod seket ingkang mlebet wonten
ing pengucap لآ الهَ إِلاَّ الله.
Pengucap مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله nglebetaken
mu’taqod kalih welas. Sagedipun mlebet kerono ningali pengucap
مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله, tegesipun kanjeng nabi Muhammad meniko dados
utusanipun gusti Alloh. Ing mongko sedoyo utusanipun gusti Alloh meniko
kagungan sifat wajib tigo, muhalipun inggih tigo. Rupinipun wajib tigo
inggih puniko : (1) shidiq, (2) amanah, (3) tabligh. Muhalipun : (1)
kidzib, (2) khiyanat, (3) kitman. Jaizipun poro Rosul puniko wonten
setunggal, muhalipun jaiz inggih setunggal, wenang ketekanan sifat
a’rodlul basyariyyah, muhal ketekanan sifat uluhiyyah. Setunggal lan
setunggal dados wonten kalih, kalih lan nenem dados wonten walu.
Pengucap مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله nglebetaken iman sekawan : (1)
ngimanaken poro nabi, (2) ngimanaken poro malaikat, (3) ngimanaken kitab
bongso langit, (4) ngimanaken dino akhir. Sekawan lan walu dados wonten
kalih welas. Puniko mu’taqod kalih welas ingkang mlebet wonten ing
pengucap مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله. Kalih welas lan seket wonten sewidak
kalih. Lah inggih puniko jumlahipun mu’taqod sewidak kalih ingkang dipun
wajibaken nyumerapi saben-saben tiyang mukallaf ingkang mlebet ing
pengucap:
لآ الهَ إِلاَّ الله مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهُ
-- -- -- -- -- -- -- -- -- -- --
[1] Sekolah formal pada waktu itu yang hanya sampai kelas tiga
[2] Santri yang mengaji di Pondok, tapi tinggalnya tetap dirumah (tidak menetap di Pondok).
[3] Dari K. Abu Tholib Tipar, alumni Bendo
[4] Istilah jawa : menyewa sawah selama satu tahun untuk ditanami
[5] K. Mansyur, dari K. Sujangi dari Purbalingga, santri Bendo adik kelas KH. Badawi Hanafi
[6] Dari KH. Muhsin (pengasuh PP. Al-Fiel), alumni Bendo dari Gus Mastur Jampes
[7] dari Mbah K. Khoiron, Purbalingga
[8] dari KH. Chasbullah Badawi
[9] Dari K. Ibrahim/K. Abu Tholib, alumni Pondok Bendo
[10] Syekh Ibrahim bin Isma'il
"Ta'limul Muta'alim" hal:27
[11] Dari K. Ibrahim/K. Abu Tholib Tipar, alumni Pondok Bendo
[12] Menanti Kyai/Guru ditempat pengajian sebelum Sang Kyai/Guru datang mengajar
[13] Dari KH. Chasbullah Badawi
[14] K. Mansyur dari KH. Mustholih Badawi
[15] Dari K. Ibrahim/K. Abu Tholib Tipar, alumni Pondok Bendo
Diposkan 30th January 2012 oleh MUN'IMUL HUDA